Selasa, 26 Oktober 2010

HEDONISME & KEMAJUAN TEKHNOLOGI BERDAMPAK KURANG BAIK TERHADAP ANAK & REMAJA





Hedonisme dan kemajuan teknologi merupakan dua hal yang kehadirannya tak bisa dihindari. Keduanya telah memberikan arti penting bagi tingkat peradaban manusia, tetapi juga sesungguhnya kita memendam kekhawatiran terus menerus, dan penuh kecurigaan memandang pesatnya kemajuan teknologi.

Kekhawatiran dan kecurigaan tersebut selalu terjaga karena pengalaman kehidupan menunjukkan keduanya selain mendatangkan kemajuan dan menjadi elemen penting tingkat kesejahteraan manusia, juga terbukti mendatangkan banyak petaka, baik individual dan komunal, utamanya bagi kelompok rentan dalam masyarakat yaitu anak. Berbagai upaya Perlindungan Anak sering dinilai mengalami hambatan, dan kegagalan karena adanya dua sebab, yakni arus hedonism dan kemajuan teknologi yang begitu pesat dengan segala konsekuensinya. Dengan demikian, diam-diam hedonism dan kemajuan teknologi telah menjadi pihak tertuduh ketika kita gagal mencapai tujuan tata nilai yang diinginkan.

Hedonisme dipahami sebagai paham yang mementingkan kesenangan dan kemewahan fisik. Hedonisme berasal dari bahasa Latin yang berarti kesenangan. Dalam sejarah filsafat Yunani, tokoh pertama yang mengajarkan aliran hedonism adalah Democritus (400-300 SM), yang memandang bahwa kesenangan merupakan tujuan pokok dalam kehidupan ini. Hidup hanya sekali, dan karenanya kesenangan menjadi ukuran keberhasilan seseorang.

Tokoh lain adalah Aritiphus (395 SM), yang memandang bahwa satu-satunya yang ingin dicari manusia adalah kesenangan. Oleh karena itu segala cara menjadi sah dilakukan apabila berutujuan mencari kesenangan. Kesenangan didapat langsung oleh panca indera. Orang bijaksana, menurutnya akan selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan.

Seperti akan mengoreksi para pendahulunya, Epicurus (341-270 SM) mencoba meluruskan pemahaman akan hedonism. Menurut Epucurus, memang kesenangan tetaplah menjadi sumber norma, tetapi tidak kesenangan jasmani semata-mata, sebab kesenangan tersebut pada akhirnya kalau tidak dikendalikan akan menimbulkan rasa sakit juga. Terlalu bersenang-senang dengan makan akan menimbulkan sakit perut, kolesterol, asam urat, dan penyakit lainnya. Terlalu banyak hubungan seks akan menimbulkan kelelahan/loyo/lunglai. Maka kesenangan sejati menurutnya harus bermakna tidak adanya rasa sakit dalam badan dan tidak adanya kesulitan jiwa. Jadi bukan sekedar memperoleh kesenangan makan dan minum, bukan pula kesenangan seksual, tetapi lebih banyak mencari argument yang menghilangkan segala kerisauan jiwa. Terlampau mengejar kesenangan fisik; seperti uang, kehormatan, kekuasaan, tidak akan menimbulkan kekuasaan jiwa. Puncak hedonism bagi Epikurus adalah ketenangan jiwa. Jiwa dapat mengenang kembali peristiwa-peristiwa yang menyenangkan, dan mengatasi keterbatasn jasmani. Kesenangan tertinggi menurutnya adalah kesenangan yang bisa dinikmati dengan pengendalian diri. Tidak lupa ia mengingatkan, bahwa “Cinta uang adalah akar dari segala kejahatan”.

Dalam perkembangannya hedonism modern diatikan sebagai sebuah aliran pemikiran dan gaya hidup yang mengabdi kesenangan semata, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek moral, agama, sosial, dan budaya. Diyakini hedonism berjalan beriringan dengan kapitalisme dan neoliberalisme yang memang untuk berjaya membutuhkan tingkat konsumerisme tinggi. Tingkat konsumerisme tinggi yang dianggap sebagai puncak dari tahap-tahap peradaban masyarakat.

Hedonisme oleh aliran kapitalisme harus ditumbuhkan karena mencintai kesenangan akan menimbulkan nafsu manusia untuk membeli dan mengkonsumsi hal apa saja yang ditawarkan, lalu pasar menjadi tumbuh, dan bergeraklah sistem ekonomi kapitalis tersebut. Hedonism semakin subur karena digerakkan oleh industri iklan yang bertugas merangsang syahwat manusia sedalam-dalamnya, bila perlu dikuras habis harta kekayaan dan jiwa manusia untuk meraih kesenangan walaupun iklan-iklan itu boleh jadi sekedar kebohongan semata.

Satu kenyataan yang merisaukan adalah bahwa hedonism telah meruntuhkan nilai-nilai budaya masyarakat, karena demi kesenangan orang bisa lupa daratan, tak berpijak pada akar budaya di mana ia berada. Maka seperti yang kita saksikan hari ini, demi mengejar kesenangan segala model arsitektur dipaksakan berdiri di tengah arsitektur lokal yang lebih berkarakter, juga masuklah aneka mode pakaian, makanan, dan pada sudut lain orang dengan dinginnya melakukan praktek perampokan, korupsi, menjual anak kandung, melacurkan anak kandung, menelantarkan anak, dan berbagai tindakan eksploitasi terhadap anak lainnya untuk mengejar kesenangan duniawi.

Tak pelak bila sebagian orang menilai hedonism tidak lain anak kandung materialism dan cucu atheism. Hedonisme yang tampak berwajah tampan ternyata telah menempatkan dirinya sebagai pewaris tunggal penghancur peradaban dan berhasil menundukkan sebagian besar umat manusia untuk memperbudaknya.

Sesungguhnya bagi anak atau generasi muda, hedonism akan bernilai posiitf bila memotivasi dirinya untuk belajar keras dan berprestasi demi meraih kesenangan, namun bernilai negatif bila yang terjadi demi mengejar kesenangan ia menjadi pemalas, manja, tidak kreatif dan mencari jalan terabas demi kesenangan duniawi sesaat.

Hal yang sama terjadi pada kemajuan teknologi. Diakui bahwa teknologi sangat bermanfaat karena telah memberikan berbagai kemudahan hidup bagi manusia, namun pada sisi lain teknologi juga telah memanjakan manusia sehingga akan membuat manusia menjadi pemalas, tidak kreatif, dan semata-mata mengandalkan teknologi itu sendiri.

Bagi masyarakat di berbagai penjuru dunia, lompatan teknologi juga telah melahirkan gegar budaya, yakni orang hanya mampu membeli sebuah produk tetapi tidak bisa mengendalikan. Ia bisa membeli sepeda motor yang semestinya untuk alat transportasi, tetapi malahan digunakan untuk kebut-kebutan, ia beli HP mestinya untuk memperlancar komunikasi tetapi dibelokkan menjadi sarana perselingkuhan via sms, ia bisa memiliki akun facebook buka untuk membangun komunitas komunikasi tetapi digunakan untuk menipu dan memperdaya orang lain, dan internet yang darinya kita bisa mengunduh begitu banyak informasi, malahan dijadikan untuk menyebarkan materi pornografi.

Anak menjadi sasaran hedonism dan kemajuan teknologi karena anak merupakan kelompok masyarakat yang memiliki daya pikat luar biasa. Anak adalah kelompok rentan yang mudah dipengaruhi, anak adalah kelompok manusia yang masih melakukan orientasi nilai sehingga mudah diarahkan dan dibekuk dalam aneka tipu daya, anak adalah kelompok tunas muda yang cepat menerima perubahan dan beradaptasi dengan berbagai produk, anak adalah pusat kasih sayang orang tua sehingga orang tua sulit untuk menolak permintaannya, serta anak adalah kelompok manusia yang paling mudah dikorbankan karena tidak bisa melawan dan mudah dibujuk rayu.

Tak pelak bila pasar rokok belakangan ini sasarannya adalah anak muda dengan iklan-iklan yang super menggoda. Minuman beralkohol dan narkoba memilih sasaran anak muda karena merekalah kelompok yang mudah ditaklukkan. Produk-priduk pakaian, kecantikan, dan teknologi komunikasi juga memilih idiom-idiom kaum muda, karena walaupun relative belum memiliki penghasilan namun anak-anak adalah kelompok manusia yang bisa memaksa orang tua membelanjakan uangnya. Termasuk para hedonis syahwat birahi, dengan atas nama kawin siri atau kawin kontrak, pilihannya pada anak sebagai sasaran, karena mereka pikir dengan menawarkan BlackBerry atau Notebook atau baju mahal bisa menipu anak-anak remaja.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memang belum memberikan pasal-pasal tentang pengaruh hedonism dan dampak teknologi, bahkan dalam konsideran sekali pun. UU Perlindungan Anak baru mencantumkan pasal-pasal Perlindungan Khusus yang, di dalam implementasinya bersingguhan dengan topik yang kita bicarakan, yakni Pasal 59: “Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran".

Dalam perspektif perlindungan anak, menempatkan posisi anak sebagai korban (victim), betapapun baik ia sebagai korban murni, maupun dia sebagai pelaku (offender) sesungguhnya dia adalah korban. Katakanlah memang anak merokok, meminum alkohol, mengkonsumsi narkoba, menikmati, mengunduh, dan mengedarkan pornografi, tetapi sesungguhnya dia hanayalah seorang korban dari industri produk hedonisme , korban dari perlakuan salah orang tua, korban dari masyarakat yang tidak mampu menciptakan lingkungan yang sehat, dan tentu sesungguhnya korban dari Negara yang gagal melindungi generasi mudanya dari hantaman produk hedonism.

Dengan persepektif perlindungan anak di atas, maka sesungguhnya pihak tertuduhnya bukan anak, tetapi orang dewasa. Membuat kebijakan yang hanya menjadikan anak sebagai sasaran, bukan saja tidak akan menyelesaikan persoalan tetapi akan berujung pada kriminalisasi anak. Kasus anak jalanan misalnya, sangat salah ketika yang dikejar-kejar adalah anak jalanannya demi ingin meraih Adipura atau gelar-gelar politis lainnya, sebab semestinya terhadap anak justeru harus lebih disayangi, mengapa mereka berada di jalanan, bawa mereka ke tempat yang lebih manusiawi, berikan hak-haknya sesuai UU Perlindungan Anak. Sedangkan yang dikejar dan dihukum adalah orang tua yang menelantarkan anak, para joki atau broker yang mengeksploitasi anak, dan pemerintah yang gagal mewujudkan kesejahteraan anak.

Sejumlah langkah konkret bisa dilakukan Pemerintah Daerah untuk melindungi anak dari arus hedonism dan kemajuan teknologi:

1.Wujudkan kebijakan yang berpersepektif anak, dengan prinsip-prinsip dasar perlindungan anak, yaitu: non-diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang,; penghargaan terhadap pendapat anak. Landasan hukum tertinggi adalah Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa:”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Kebijakan yang berperspektif anak harus tampak sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pengawasan. Ukuran sebuah Pemda apakah sudah berperspektif anak atau tidak bisa dilihat dari 6 (enam) indikator yakni:

a.Legislasi : sejauh mana Pemda memiliki legislasi dan regulasi tentang perlindungan anak baik berupa Perda, Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota.

b.Program Perlindungan Anak; apakah dari legislasi tersebut telah di breakdown dalam rencana program, serta sejauh mana program-program yang telah disusun tersebut dilaksanakan.

c.Kelembagaan; apakah untuk mengimplementasikan program telah dibentuk kelembagaan yang kapabel dan memadai.

d.Alokasi anggaran; berapa besar alokasi anggaran yang telah diberikan untuk perlindungana anak, khususnya anggaran untuk mengkover ketentuan dalam pasal 59 UU Perlindungan Anak yakni bab Perlindungan Khusus.

e.Penyelesaian kasus; sejauh mana kasus-kasus yang terjadi di daerah ini bisa terselesaikan, dikawal, dan setiap anak yang telah menjadi korban direhabilitasi.

f.Partisipasi masyarakat; yakni sejauh mana Pemerintah daerah mampu menggalang partsisipasi masyarakat untuk melakukan gerakan membendung efek negatif arus hedonism dan dampak kemajuan teknologi.

2.Orientasi pada orang dewasa. Dengan cara pandang bahwa anak adalah korban, maka yang harus menjadi sasaran utama pencegahan adalah orang tua. Dalam hal ini kita bisa melakukan program andragogy atau pendidikan orang dewasa, berupa:

a.Pendidikan ketahanan keluarga melalui parenting skills atau keterampilan dan kapasitas orang tua di dalam mendidik anak, yang berorientasi pada nilai-nilai spiritual transsendental dan nilai-nilai budaya bangsa.

b.Implementasi program-program penguatan ekonomi keluarga yang memastikan bahwa setiap keluarga yang mengasuh anak harus mampu menopang kebutuhan standar hidup keluarga.

c.Mengajarkan orang orang tua untuk melek teknologi multi media, misalnya memilihkan channel televise, mengetahui password laptop atau computer anak, serta memastikan bahwa computer anak, atau warnet-warnet langganan ngenet anak dilengkapi dengan protektor khusus yang menolak pornografi, misalnya.

d.Memberikan kursus-kursus kreatif yang darinya bukan saja mengembangkan kemampuan industry kreatif, tetapi juga bisa menghasilkan income bagi keluarga.

3.Penegakkan Hukum (law enforcement).Ini sisi yang kelihatannya sulit, tetapi bisa dilakukan asalkan ada kemauan pemimpin yang kuat dan sosialisasi yang memadai. Pemda Propinsi harus berani memulai penerapan hukum secara ketat di tingkat lokal. Kalau Pemerintah Aceh bisa menegakkan hukum Suariah berdasarkan Qanun, apakah Pemda lain tidak bisa dengan ketat misalnya menegakkan hukum-hukum lokal; larangan memasang iklan rokok di ruang publik dan media massa, hukum keras bagi pengedar minuman keras dan narkoba, setiap restoran dari manapun datangnya dan apapun merek dagangnya harus menyajikan menu lokal, setiap hotel dalam sehari semalam wajib memutar musik tradisional minimal 75 %, semua televise lokal harus menyiarkan budaya lokal minimal 50 %, atau ketentuan iklan macam apa yang boleh disiarkan ke publik, dan sebagainya. Dan inilah yang disebut substansi otonomi, bukan sekedar otonomi mengelola sistem keuangan sendiri, tetapi otonomi dalam hal perlindungan budaya dan nilai-nilai lokal.

4.Payung besar dari hal-hal di atas adalah pembangunan “Propinsi Layak Anak”. Ini program komprehensif di mana seluruh rangkaian kegiatan pembangunan mengacu kepada kepentingan anak, dan orang dewasa menyesuaikan. Pertanyaan-pertanyaan dasar harus diajukan, mislanya; sudah seimbangkah perbandingan wilayah pemukiman dengan penghijuan kota dan taman-taman yang mudah diskses anak? Sudah tersediakah ruang-ruang publik ekspresi anak seperti panggung tetaer, lapangan olah raga, perpustakaan, tempat bermain dan sebagainya? Sudahkah konstruksi jalan ramah anak? Sudahkah bangunan tempat tinggal, pasar, bandara, terminal, memikirkan kepentingan anak? Sudah adakah perangkat hukum sampai ke hal teknis untuk menghukum orang-orang dewasa yang mengeksploitasi adan melakukan kekerasan terhadap anak?

Tentu saja pokok-pokok pikiran di atas belum mampu sepenuhnya menjamin perlindungan anak dari arus hedonism dan kemajuan teknologi, namun sebagai upaya minimal, kiranya anak-anak akan memperoleh kondisi yang lebih baik daripada hari ini. Yang pasti hedonism dan kemajuan teknologi merupakan keniscayaan, yang mustahil kita tolak karena itu bagian dari mekanisme pertahanan (defensive mechanism) kehidupan manusia. Yang bisa dilakukan adalah, meminimalisir dan mengendalikan teknologi itu sendiri, dengan menempatkan teknologi sebagai alat bantu manusia mencapai kebehagiaan, tetapi bukan teknologi itu sendiri sebagai tujuan hidup.

Lebih dari itu, kunci perlindungan anak adalah contoh kehidupan pemimpin. Pemimpin yang kuat, baik, tegas, berkarakter dan konsisten, akan menjadi sistem itu sendiri. Pemimpin yang hidup sederhana akan mudah mengajarkan kesederhanaan kepada rakyatnya. Namun akan sulit mengajarkan rakyat tidak korup, tidak boros, dan tidak hedonis manakala para pemimpin sendiri menunjukkan gaya hidup yang penuh foya-foya, permisif atas masuknya nilai-nilai luar, mengedepankan pencitraan serba wah daripada kehidupan bersahaja, low profile, dan apa adanya.

Pemimpin bukan sekedar pelaksana mandat konstitusi, tetapi harus menjadi guru, teladan, dan pembawa visi ke mana bangsa ini akan bergerak. Tanpa pemimpin yang kuat, sebuah sistem besar yang sedang berkonsolidasi tidak akan bergerak. Sayangnya, inilah mega problem bangsa Indonesia, miskin pemimpin yang yang memiliki visi. Bahkan, merekalah pelaku hedonism sejati, yang telah menjadikan kekuasaan sebagai sarana memperoleh puncak-puncak kesenangan duniawi.

Saatnya kita harus melakukan sesuatu yang berarti, untuk anak Indonesia.

1 komentar: